Notification

×

Iklan

Iklan

Indonesia Terancam Krisis Pangan

Selasa, 18 Oktober 2022 | Oktober 18, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-10-19T08:05:16Z

Ahmad Al-faruq, Dok (Istimewa)
Oleh : Ahmad Al-faruq 

Kabupaten Bima, SinarNTB.Com - Problem yang ada di Indonesia saat ini begitu kompleks, termasuk terancam krisis pangan. Salah satu indikatornya adalah ketergantungan Indonesia yang besar terhadap impor sejumlah komoditas pangan utama. Tidak hanya beras, ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan nasional utama lainnya terhadap impor, seperti kedelai, garam, daging sapi, dan jagung.

Pasalnya, baru-baru ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, Indonesia siap menghadapi ancaman krisis pangan. Jika beras makin mahal maka sagu jadi alternatif makanan pokok. Dengan demikian, problem pangan di Indonesia tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat khususnya petani.

Padahal, potensi pertanian Indonesia ditinjau dari luas dan kesuburan lahan termasuk yang terbaik di dunia. Tetapi, pada kenyataannya, saat ini Indonesia justru jatuh sebagai pengimpor aktif produk pangan. Beberapa kebijakan pemerintah yang sangat perlu dikritisi, karena berpotensi mengantarkan masyarakat pada keterpurukan ekonomi, yaitu: 

Pertama, lemahnya peran pemerintah dalam proses intensifikasi pertanian, sehingga menyebabkan kegiatan pertanian semakin lemah dan pada akhirnya akan menurunkan produksi. Intensifikasi merupakan usaha untuk meningkatkan produktifitas tanah, khususnya terkait penyediaan benih tanaman unggul yang berkualitas dan pemupukan yang efektif dan efisien.

Selain itu, peran pemerintah paling tidak bisa dilihat dari anggaran yang disediakan untuk subsidi benih dan pupuk dalam APBN yang selalu mengalami penurunan secara terus-menerus.

Belum lagi mengenai kenaikan harga benih dan pupuk sebagai akibat makin berkurangnya subsisdi yang disediakan oleh pemerintah. Menurunnya subsidi tersebut, tentu akan menyebabkan kenaikan harga pupuk, sehingga margin keuntungan yang dinikmati petani akan semakin tergerus bahkan bisa negatif.

Kedua, tidak hanya pada proses ekstensifikasi, yaitu perluasan area pertanian dan peran pemerintah yang masih sangat lemah. Bahkan beberapa kebijakan pemerintah justru menyebabkan penciutan area pertanian.

Karena itu, alih fungsi yang terjadi adalah perubahan lahan pertanian menjadi penambahan pemukiman, pembangunan jalan, kawasan industri, dan lain-lain. Ironisnya, alih fungsi lahan tersebut justru terjadi pada area lahan-lahan produktif, sementara pada sisi lain proses tersebut tidak disertai pembukaan lahan pertanian baru, sehingga lahan pertanian produktif mengalami penyusutan dari tahun ke tahun.

Ketiga, kebijakan pemerintah dalam perdagangan produk pangan tidak pro-rakyat tapi pro-pasar. Buktinya, ketika produksi pangan seperti beras, kedelai, jagung, dan sebagainya menurun, pemerintah justru lebih memilih kebijakan impor daripada upaya meningkatkan produksi dalam negeri melalui intensifikasi dan ekstensifikasi seperti yang dijelaskan di atas.

Oleh karenanya, untuk mendukung impor produk pangan tersebut, khususnya beras, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.241 Tahun 2010 tentang impor beras. Melalui PMK ini pemerintah membebaskan bea masuk impor beras. Regulasi ini mencekik petani Indonesia. 

Kebijakan impor ini sebenarnya, memang menjadi rancangan IMF sebagai jalan liberalisasi pangan di negara-negara berkembang. Liberalisasi tersebut bukan untuk memajukan negara berkembang tapi justru sebagai jalan penjajahan ekonomi oleh negara-negara kapitalis dunia. 

Sebab, krisis pangan turut menyempurnakan problem ekonomi yang melilit Indonesia saat ini. Problem lainnya yang dapat kita temukan adalah tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, harga kebutuhan bahan pokok yang makin melonjak, utang pemerintah yang terus membengkak, tingginya kejahatan ekonomi seperti korupsi, kolusi, suap, dan lain sebagainya. Kondisi ini terjadi karena Indonesia menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. 

Mengutip pendapatnya, Karl Marx menjelaskan bahwa kapitalisme sebagai sistem, di mana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan pemilik modal dengan tujuan mencapai keuntungan maksimal. Prinsip dasar sistem ekonomi kapitalisme adalah bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam perekonomian, sehingga ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar semata yaitu harga, supply, dan demand. 

Negara bertindak seperti korporasi yang hanya bertugas menjamin berjalannya ekonomi mengikuti hukum supply dan demand. Terkadang negara berfungsi sebagai produsen dan terkadang berfungsi sebagai konsumen yang sama-sama mencari keuntungan dalam setiap transaksi dengan rakyatnya.

Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem ekonomi Islam. Menurut Dr. Abdurrahman Al-Maliki dalam bukunya Siyasah Al-Iqtishadiyyah Al-Mutsla (Politik Ekonomi Ideal) menyebutkan bahwa politik ekonomi Islam adalah sejumlah hukum yang ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap individu sesuai dengan kadar kemampuannya. Karena itu, semua kebijakan ekonomi Islam harus diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer dan memberikan kemungkinan terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap individu.

Sementara, Menurut Al-Maliki, dalam politik ekonomi Islam, pertanian merupakan salah satu sumber utama ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia atau jasa. Politik pertanian yang dijalankan oleh syariah Islam ditujukan untuk mewujudkan tujuan politik ekonomi Islam tersebut sesuai dengan syariah.

Pertama, kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan yang diperlukan dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian.

Pasalnya, ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut.

Diantaranya adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati. Selain itu, negara juga akan memberikan tanah pertanian yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.
Rasulullah Saw. bersabda:
"Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil," (HR. Imam Bukhari).

Kedua, kebijakan di sektor industri pertanian, dimana negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diijinkan untuk melakukan aktivitas. Melalui kebijakan ini, maka mereka yang punya modal hanya bisa berinvestasi di sektor yang lebih riil saja yang salah satunya adalah sektor industri pertanian. 

Karena itu, sektor yang lebih riil, dimungkinkan tumbuh dan berkembang secara sehat. Berbeda dengan politik ekonomi kapitalisme yang ekonominya lebih dominan bertumpu pada sektor non riil seperti bank dan pasar modal.

Ketiga, kebijakan di sektor perdagangan hasil pertanian, yaitu untuk menjamin perdagangan produk pertanian berjalan sesuai syariah untuk memenuhi kebutuhan pangan setiap individu masyarakat. Diantaranya adalah negara akan melarang impor selama produksi dalam negeri masih memadai, meskipun impor tersebut secara finansial lebih menguntungkan. Karena impor akan menyebabkan posisi negara akan lemah secara ekonomi.

(*Penulis adalah Redaktur SinarNTB.Com)
×
Berita Terbaru Update