Sinarntb.com - Kemunculan fenomena “kotak kosong” atau calon tunggal di Pilkada 2024 menjadi alarm bahaya bagi suksesi kepemimpinan daerah dan demokrasi Indonesia.
Sejak 2015 hingga 2020 sudah ada 53 calon tunggal kepala daerah diberbagai level (Kompas, 6/5/2024). Diperkirakan Pilkada 2024, calon tunggal kepala daerah akan semakin meningkat.
Pilkada diharapkan untuk memilih pemimpin yang terbaik dari pemimpin yang baik, dipaksa oleh elite partai dan partai politik untuk memilih pemimpin sesuai dengan selera partai politik.
Tak ada pilihan lain, selain memilih kotak kosong atau calon tunggal.
Harapan kita untuk mendapatkan pilihan alternatif dari calon kepala daerah dipersempit oleh partai politik dengan “memborong” partai politik dalam mengusulkan calon kepala daerah.
Jika perbedaan pilihan adalah demokrasi, maka memilih kotak kosong atau calon tunggal dalam Pilkada adalah keterpaksaan demokrasi.
Dengan kata lain, Pilkada sesungguhnya tak demokratis. Demokrasi, meminjam Robert Dahl, menghendaki kompetisi secara fair dan bebas.
Namun, apa sebetulnya problem di balik munculnya fenomena kotak kosong atau calon tunggal di Pilkada?
Problemnya, pertama, karena syarat dukungan calon independen atau nonpartai sangat tinggi—6,5 persen sampai 10 persen—sehingga sulit bagi munculnya calon independen atau nonpartai.
Kedua, karena syarat dukungan partai politik sangat tinggi—20 persen kursi atau 25 persen suara sah hasil Pemilu DPRD sebelumnya—sehingga membebani partai politik dalam mengusulkan calon kepala daerah.
Sejak dari awal, pengaturan dalam Undang-Undang Pilkada menyulitkan bagi munculnya calon independen atau nonpartai dan membebani partai politik dalam mengusulkan calon kepala daerah.
Maka koalisi menjadi jalan satu-satunya bagi partai politik dalam mengusulkan calon kepala daerah. Apakah itu koalisi kecil, koalisi besar atau praktik borong partai politik dalam pencalonan kepala daerah.
Seharusnya, syarat pencalonan kepala daerah dipermudah. Pertama, dengan menurunkan syarat dukungan calon independen atau nonpartai.
Kedua, menurunkan syarat dukungan partai politik dalam pencalonan kepala daerah. Ketiga, menutup ruang bagi munculnya calon tunggal atau kotak kosong dalam Pilkada.
Pilihan ini tentu dilakukan melalui perubahan Undang-Undang Pilkada. Hal ini untuk menghindari munculnya calon tunggal dan menawarkan pilihan alternatif calon kepala daerah kepada pemilih.
Pilihan ini tentu tak diinginkan oleh partai politik, mengingat bagaimana partai politik hari ini.
Faktanya, kemunculan fenomena kotak kosong atau calon tunggal di Pilkada seakan-akan dinormalisasi oleh elite partai dan partai politik tanpa memperhatikan kompetisi yang fair dan bebas, serta pilihan alternatif masyarakat terhadap calon kepala daerah yang terbaik dari yang baik.
*Pragmatisme Partai Politik*
Kemunculan fenomena kotak kosong atau calon tunggal di Pilkada semakin menegaskan posisi partai politik, dari sebelumnya “satu ranjang” dengan masyarakat, menjadi jembatan penghubung masyarakat dengan kekuasaan, dan menjadi “satu ranjang” dengan kekuasaan.
Pergeseran posisi partai politik ini bukan tanpa sebab. Pergeseran partai politik terjadi karena ideologi partai politik tidak laku di pasaran, sehingga partai politik berkongsi dengan penyandang dana, agar tetap eksis.
Inilah yang oleh Larry Diamond dan Richard Gunther (2001) sebut sebagai relasi klientalistik partai politik dengan sumber daya yang menopang pendanaan partai politik.
Akibatnya, partai politik lebih cenderung mewakili kepentingan pengusaha dan pebisnis ketimbang menjadi agen masyarakat.
Ada beberapa indikator untuk melihat pragmatisme atau ideologi tidaknya partai politik. Pertama, dapat dilihat dari koalisi partai politik dalam mengusulkan calon presiden/wakil presiden atau calon kepala daerah.
Koalisi partai politik pengusung calon terbentuk bersifat transaksional dan patron. Calon yang diusung hanya orang-orang yang memiliki modal yang besar dan orang-orang yang dekat dengan elite partai.
Akibatnya, pencalonan ditentukan oleh elite-elite partai, bukan dukungan dari bawah (masyarakat), hasil survei, dan figure—kualitas kepemimpinan—seseorang.
Petr Kopecky (2012) menyatakan, faktor patronase membawa partai politik pada monopoli kekuasaan dan tidak berjalannya demokrasi di internal partai, sehingga menyebabkan matinya platform ideologi partai.
Karena episentrum kekuasaan dikontrol oleh elite-elite partai, sehingga dalam pengambilan keputusan di internal partai ditentukan oleh elite-elite partai.
Kedua, dapat dilihat dari koalisi partai politik pendukung pemerintah di parlemen. Koalisi partai politik terbentuk bersifat transaksional: barter jabatan menteri dan posisi komisaris di BUMN.
Satu sisi, koalisi besar menjaga stabilitas politik dan berjalannya pembangunan. Namun, di sisi lain, mematikan check and balance, melahirkan sentralisasi kekuasaan eksekutif yang sangat kuat.
Ketiga, dapat dilihat dari produk undang-undang yang dihasilkan. Apakah undang-undang yang dihasilkan responsif, elitis atau konservatif.
Tampaknya produk undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR akhir-akhir ini cenderung elitis dan konservatif.
Produk undang-undang seperti Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang IKN, Undang-Undang MD3, Undang-Undang ITE, dan KUHP baru merupakan produk undang-undang elitis dan konservatif.
Indikator-indikator di atas, merupakan cerminan partai politik, apakah partai politik memiliki ideologi atau semakin menegaskan bahwa partai politik tidak memiliki ideologi.(*)
*Mahmud adalah Sekretaris Umum Korps Pengader Cabang HMI Cabang Yogyakarta dan Alumni Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.