Mataram, Sinarntb.com Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, kembali menuai penolakan. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Cabang Mataram secara tegas menolak rencana tersebut karena dinilai mengabaikan luka sejarah bangsa yang belum sepenuhnya dipulihkan.
Sudirman, Ketua Umum HMI Cabang Mataram, menegaskan bahwa pemberian gelar tersebut berpotensi menjadi bentuk pemutihan sejarah (whitewashing) terhadap berbagai pelanggaran HAM, praktik otoritarianisme, dan penyimpangan demokrasi pada masa Orde Baru.
“Luka bangsa ini belum sembuh. Tragedi 1965, pembungkaman demokrasi, korupsi terstruktur, hingga pelanggaran HAM berat pada masa Orde Baru tidak bisa dihapus begitu saja hanya dengan gelar pahlawan,” ujar Sudirman, Ketua HMI Mataram dalam keterangan resminya.
*HMI Mataram: Gelar Pahlawan Harus Mengedepankan Moralitas, Bukan Nostalgia Kekuasaan*
HMI Mataram menilai, penganugerahan gelar pahlawan adalah simbol penghormatan negara yang harus diberikan kepada tokoh yang memiliki rekam jejak bersih, memberi kontribusi kemerdekaan, dan memperjuangkan kemanusiaan. Karena itu, kata HMI, penilaian terhadap tokoh sejarah tak boleh bias kepentingan politik.
“Bangsa ini tidak boleh amnesia sejarah. Gelar pahlawan bukan alat rehabilitasi nama politik. Negara harus berpihak pada keadilan sejarah, bukan pada romantisme kekuasaan Orde Baru,” tegasnya.
*Catatan Sejarah yang Jadi Alasan Penolakan HMI*
HMI Mataram memaparkan sejumlah fakta sejarah penting yang menjadi dasar penolakan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto:
1. Tragedi 1965–1966 dan Pelanggaran HAM
Peristiwa pembantaian massal pasca-G30S 1965 menyebabkan ratusan ribu korban jiwa dan penahanan sewenang-wenang.
Banyak catatan lembaga HAM internasional dan nasional menilai negara gagal melakukan rekonsiliasi atas tragedi ini.
2. Rezim Otoriter Orde Baru (1966–1998)
Kebebasan berpendapat, berserikat, dan pers dikontrol ketat.
Aktivis, jurnalis, dan oposisi politik kerap mengalami intimidasi, penculikan, hingga penghilangan paksa.
3. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang Terstruktur
Pemerintahan Soeharto ditandai dengan praktek KKN berskala nasional.
Pada 1999, Majalah Time merilis investigasi dana keluarga Cendana mencapai sedikitnya USD 15 miliar di luar negeri.
Transparansi Internasional menetapkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia.
4. Tragedi 1998: Reformasi Berdarah
Jelang tumbangnya Soeharto, terjadi penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I & II, dan aksi represi aparat.
Ratusan aktivis mengalami penculikan dan penghilangan paksa.
5. Dampak Sosial-Ekonomi
Krisis 1997–1998 menjadi pukulan ekonomi hebat akibat kebijakan ekonomi kroni, yang akhirnya memicu keruntuhan Orde Baru.
*Seruan HMI: Rekonsiliasi Sejarah Dulu, Baru Bicara Gelar*
HMI Mataram menekankan bahwa sebelum membahas gelar pahlawan untuk Soeharto, negara perlu menuntaskan agenda keadilan sejarah, termasuk:
Pengakuan dan permintaan maaf negara terhadap korban pelanggaran HAM,
Penyelesaian kasus penculikan aktivis 1998,
Pendidikan sejarah yang jujur dan tidak manipulatif.
“Jangan melukai kembali para keluarga korban dan pejuang reformasi. Keadilan sejarah harus lebih dulu ditegakkan,” tambah pernyataan tersebut.
Ajakan untuk Generasi Muda HMI
HMI Mataram menyerukan agar mahasiswa tetap kritis dan tidak membiarkan rekayasa sejarah mengaburkan fakta.
“Generasi muda HMI harus merawat ingatan kolektif bangsa. Reformasi bukan hadiah, tetapi perjuangan berdarah. Jangan sampai sejarah dikaburkan demi kepentingan politik sesaat,” tutupnya.
Red
