Notification

×

Iklan

Iklan

Mahasiswa Tanpa Identitas

Kamis, 03 November 2022 | November 03, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-11-04T00:52:49Z

Nanang Sofian Putra, Dok (Istimewa)
Oleh : Nanang Sofian Putra

SinarNTB.Com - Bicara tentang Mahasiswa tentu tidak akan pernah habisnya, termasuk predikat sosial yang cukup prestisius. Bagi sebagian orang, melihat status Mahasiswa merupakan status tertinggi dan dianggap sebagai orang yang memiliki intelektual.

Bahkan, tidak sedikit orang menilai bahwa orang yang memiliki status mahasiswa adalah orang yang akan mampu merubah bangsa ini menjadi lebih baik. Secara umum, mahasiswa adalah sebutan untuk seseorang yang tengah menempuh pendidikan di suatu sekolah tinggi, akademi maupun universitas.

Meski begitu, tidak semua orang dapat menjadi seorang mahasiswa karena berbagai hambatan tertentu. Mengutip pamdangan Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap.

Sementara, menurut Nabi Muhammad Saw "Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak." Maknanya, semakin tinggi ilmu seseorang maka akan semakin baik sikap dan perilakunya atau akhlak dalam menempatkan diri pada berbagai kondisi.

Di sisi lain hari ini, identitas yang paling melekat pada diri mahasiswa adalah aksi perlawan pada ketidakadilan. Namun, banyak kejadian yang sangat tidak diduga ketika ada aksi-aksi perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa, mulai dari pemukulan sampai pada penembakan gas air mata dan problematika tersebut menjadi catatan suram sekaligus resiko dari perlawanan.

Pasalnya, jalanan seakan sudah menjadi rumah kedua bagi mahasiswa untuk menyuarakan berbagai macam permasalahan yang terjadi pada tatanan masyarakat. Jalan telah menjadi saksi pejuangan yang dilakukan oleh mahasiswa dan di atas jalanan itu sudah terekam banyak jejak kaki para pejuang dan torehan perjuangannya.

Jalanan itu, merekam adegan, atas peluru yang dihamburkan dan menumpas banyak nyawa mahasiswa. Persoalan tersebut, membuat jalan sekarang menjadi angker dan sepi, sudah sedikit mahasiswa yang peduli akan benar dan salah. Sekarang semua pergerakan sudah didasari dengan sebuah kepentingan kelompok-kelompok tertentu, bukan lagi atas dasar kepentingan masyarakat banyak.

Komplotan ini, punya hak istimewa hingga memperoleh kekayaan dan bayaran. Tetapi sebutan yang tepat bagi mereka adalah Para Predator. Dua elemen kolot yang bersekutu untuk menampilkan ritme politik yang rutin, prosedural dan stagnan. Karenanya, hasil buruk dari keadaan tersebut adalah kekuasaan yang minim tanggung jawab.

Selain itu, pilu, duka dan derita yang miskin hanya menjadi berita yang kita semua diminta untuk berbelasungkawa, ketegaran mereka yang lemah, lalu menjadi cerita dimana-mana. Kemiskinan tidak untuk diubah tapi dijadikan bahan untuk berdebat sekaligus berderma dan mengambil keuntungan. Pada keadaan-keadaan yang buruk ini, mahasiswa malah bungkam. Seakan cerita penderitaan masyarakat hanya dijadikan dongeng dan berakhir pada meja kopi. Miris dan sangat menyedihkan.

Hilangnya Jati Diri
Di era sekarang, kita tidak lagi bisa melihat bagaimana identitas mahasiswa yang sesungguhnya. Berpenampilan bagus, pikiran merasa paling benar, padahal membaca pun tidak.

Setelahnya, membeli barang-barang keluaran terbaru, dan menonton setiap film yang baru keluar, mobil dan motor terus bergonta-ganti, serta kaos dan kemeja saling bersaing warna. Seketika pikiran dan hati bertanya, apa itu jati diri mahasiswa yang sesungguhnya? Tentu tidak!.

Sebagai calon sarjana, penampilan adalah nomor satu. Doktrin kampus tentang keindahan penampilan sudah sangat dalam tertanam pada diri mahasiswa. Penampilan mahasiswa harus mewah harus cocok dengan gedung kampus yang megah tentu sudah bukan masanya lagi menenteng buku tebal sambil memakai kaos perlawanan dengan rambut yang gondrong.

Bagaimana pendapatmu tentang keadilan? Seperti apa pendapatmu tentang kebenaran? Bagaimana caramu mengurangi atau menyelesaikannya? Pertanyaan kritis seperti ini, tidak lagi layak ditanyakan untuk mahasiswa tapi tidak sedikit juga yang masih peduli pada kesejahteraan masyarakat namun mereka yang peduli presentasenya lebih kecil dibandingkan yang tidak peduli.

Wajar saja, orang-orang yang peduli hanya akan menjadi penghias di setiap cerita, sehingga cerita Wiji Thukul, Munir, Marsina, Tan Malaka dan lainnya yang tercatat dalam rembaran sejarah hanya menjadi dongeng fiksi.

Pergerakan yang dibangun oleh mahasiswa yang peduli tidak sedikit ditunggangi, sehingga semua itu menurunkan citra mahasiswa dan membuat mahasiswa kehilangan jati diri. Sangat disayangkan, seorang mahasiwa yang dikenal dengan intelektual dan kepekaannya yang tinggi terhadap permasalahan sekitar, sekarang semua itu mulai hilang dan memudar. Sedikit demi sedikit tertelan oleh zaman.

Dengan demikian, mahasiswa harus mengerti dan memahami idemtitasnya sebagai intelektual yang tidak hanya memiliki pemikiran yang kritis dan kepekaan sosial yang tinggi, tetapi juga harus membuktikan pada dunia bahwa mahasiswa ada di antaranya. Membela orang-orang yang lemah (mustadafin) lagi tertindas dengan segala kapasitas dan kemampuannya. Merdeka!.

*(Penulis adalah Kader HMI-MPO Cabang Mataram)
×
Berita Terbaru Update